Teman baikku bernama Yuni

by cerita bokep.... | 11.48 in |

Sejak pengalamanku dgn Mbak Wulan aku telah melakukan kegiatan seks dgn beberapa
wanita lain. Berkat bimbingan Mbak Wulan aku jadi lumayan ahli dlm hal seks
untuk anak seumurku (20 thn-an) pada waktu itu. Aku pun jadi percaya diri dlm
berhubungan dgn wanita.

Setelah berhubungan seks dgn bbrp wanita aku jadi menarik kesimpulan bahwa ada
dua jenis manusia dlm urusan syahwat ini. Yg pertama adalah yg menurut istilahku
sendiri aku sebut "pelahap seks" dan yg kedua adalah "penikmat seks".

Pelahap seks dan penikmat seks sebetulnya adalah sangat mirip, keduanya sama²
sangat menyukai seks. Bedanya, pelahap seks biasanya melakukan kegiatan seks
hanya untuk memenuhi birahinya saja. Ibarat orang makan itu tujuan utamanya
adalah mencari kenyang, kurang mementingkan rasa dari apa yg dia makan. Jangan
salah, pelahap seks tidak harus orang yg hyper-sex, nafsu birahi dia bisa biasa²
saja.

Sebaliknya, seorang penikmat seks melakukan kegiatan seks dgn tujuan utama
menikmati seks itu sendiri. Ibarat orang makan itu dia lebih mementingkan cita
rasa makanannya. Kadang sekalipun dia tidak makan kenyang tapi bisa menikmati
apa yg dia makan. Agak susah memang menerangkan hal ini, tapi itu lah yg aku
simpulkan.

Mbak Wulan (dan aku) adalah para penikmat seks. Kami sangat menikmati apa yg
kami lakukan tanpa harus berbuat berlebihan.

Berbeda dgn para wanita lain yg pernah berhubungan seks dgnku, mereka semua
masuk kategori pelahap seks. Memang selama melakukan kegiatan seks dgn mereka
aku selalu "kenyang" tapi hampir² tidak bisa menikmatinya secara lahir bathin.
Semuanya berlalu tanpa kesan. Aku sampai agak pesimis apakah aku akan menjumpai
seorang wanita penikmat seks seperti Mbak Wulan. Sampai satu saat aku bercinta
dgn Yuni.

Maaf kepada para pembaca kalau pendahuluanku terlampau panjang dan berlarut. Se-mata²
aku hanya ingin memberikan gambaran bathin apa yg aku rasakan sehingga para
pembaca bisa lebih memahami apa yg aku rasakan dalam cerita pengalaman nyataku
berikut ini.

Hubunganku dgn Yuni sebetulnya cukup dekat. Kami adalah teman kuliah satu
angkatan dan satu jurusan. Jadi hampir setiap hari kami bertemu. Kami sering
mengerjakan tugas² bersama. Saling menceritakan kehidupan pribadi kami bukan hal
yg asing antara aku dan Yuni. Kami sudah menjadi sahabat yg cukup akrab. Aku
juga tahu bahwa Yuni sudah punya pacar sejak SMA dan mereka sudah merencanakan
untuk menikah setelah Yuni lulus nanti. Saat itu kami masih di semester 6.

Secara fisik Yuni cukup menarik. Wajahnya berbentuk oval dan manis. Tidak
terlalu cantik tapi jelas tidak bisa dikatakan jelek. Tingginya sekitar 160 cm,
beratnya seimbang. Rambutnya dipotong pendek dgn poni di dahinya. Kulitnya cukup
putih untuk ukuran orang Indonesia. Pokoknya tidak memalukan lah kalau kita ajak
jalan dia di tempat umum. Sayang ada satu kekurangannya, Yuni kurang bisa
bersolek, kesannya malah agak tomboy. Ke-mana² dia hampir selalu pakai celana
jeans dgn kemeja agak longgar. Padahal perilakunya sangat feminin, jadi agak
kontras dan kurang cocok.

Sore itu aku sedang mengerjakan tugas di perpustakaan kampus. Yuni juga
kebetulan ada disana, tapi dia di meja lain dgn beberapa teman. Aku asyik
mengerjakan tugasku sendiri sehingga aku tidak memperhatikannya. Tiba² ada orang
yg duduk di seberang meja. Aku lihat ternyata Yuni.

"Ngerjain apa Ben? Kok asyik banget"
"Eh ... ini tugas makalah metodologi. Kamu udah selesai Yun?"
"Yuni mah udah kelar kemarin²."
"Enak dong udah bisa santai, aku juga udah hampir selesai kok."
"Ben ke kantin yuk ... haus nih."

Aku bereskan kertas² tugasku lalu aku kembalikan buku² referensi ke raknya. Kami
berdua berjalan bareng ke kantin. Obrolan kami lanjutkan di kantin sambil minum.

"Yun, aku kok udah lama ndak liat kamu sama Mas Robby. Kemana dia?"

Mas Robby adalah pacar Yuni. Dia sudah bekerja tapi biasanya suka menjemput Yuni
di kampus. Aku tidak terlalu kenal dia cuman sebatas "say hello" saja.

Mendengar pertanyaanku tadi Yuni cuma menghela napas panjang. Wajahnya yg manis
tiba² tampak muram. Dgn agak lirih dia menjawab,

"Kami sudah putus Ben."
"Oh ... sorry Yun. Kalau boleh tahu, kenapa Yun?"

Yuni kembali menghela napas panjang. Aku tahu mereka sudah pacaran cukup lama,
mungkin ada lebih dari 3 thn. Jadi aku tahu bagaimana perasaan Yuni saat itu.
Pasti berat buat dia.

Akhirnya Yuni bercerita kalau Mas Robby ternyata dekat dgn wanita lain. Ketika
Yuni minta penjelasan dari dia ternyata Mas Robby malah marah². Akhirnya dua
minggu yg lalu Yuni tidak mau lagi ketemu dgn dia. Sungguh malang nasib Yuni,
padahal mereka sudah begitu dekat dan mereka sudah melakukan hubungan layaknya
suami istri. Secara eksplisit memang Yuni tdk pernah bicara ttg hal ini kepadaku,
tapi dari gelagatnya aku yakin itu.

Pembicaraan kami sore itu jadi melankolis dan kelabu. Seperti mendung kelabu yg
menggelayut di langit. Satu hal yg aku kagumi dari Yuni, dia begitu tegar
menerima kenyataan ini. Tak ada setitik air mata pun yg mengambang di matanya
saat menceritakan perpisahannya dgn Mas Robby.

Langit sudah agak gelap pertanda datangnya senja ketika kami keluar dari kantin
untuk pulang. Aku tawarkan Yuni untuk mengantarnya pulang dan dia setuju. Dalam
perjalanan pulang, Yuni yg duduk di boncengan motorku tak berkata sepatah pun.
Kami pun sampai di rumah Yuni.

"Masuk dulu yuk Ben," ajak Yuni sambil membuka kunci pintu rumahnya.

Beberapa kali aku pernah mengantar pulang Yuni tapi aku tidak pernah mampir ke
rumah Yuni. Kali ini kebetulan aku kebelet kencing, jadi aku mau diajak masuk
rumahnya.

"Aku mau numpang ke kamar mandi Yun."
"Disitu Ben," Yuni menunjuk ke salah satu pintu.

Aku segera menuntaskan urusanku di kamar mandi. Rumah Yuni sangat sederhana tapi
sangat bersih dan tertata rapi. Keluarga Yuni memang bukan golongan orang yg
berada. Senja itu suasana rumah Yuni sepi² saja.

"Kok ndak ada orang Yun. Orangtuamu kemana?"
"Sudah 2 hari di rumah Mbak Dewi di Solo. Dia kan baru saja melahirkan anak
pertama."

Yuni pernah cerita kalau dia hanya dua bersaudara. Kakaknya, Mbak Dewi, sudah
menikah dan tinggal di Solo. Jadi saat itu Yuni sendirian di rumah.

Aku baru saja hendak berpamitan dgn Yuni ketika tiba² mendung tebal yg sedari
tadi menggantung di langit turun menjadi hujan yg cukup lebat.

"Pulang ntar aja Ben, Hujan tuh. Yuni bikinin kopi ya."

Tanpa menunggu jawabanku Yuni segera ke dapur dan aku dengar detingan cangkir
beradu dgn sendok. Aku duduk di sofa di ruang tamu yg sekaligus berfungsi
sebagai ruang keluarga itu. Tak berapa lama Yuni muncul dgn secangkir kopi yg
masih mengebul di tangannya.

"Kamu ngopi dulu Ben. Yuni mau mandi dulu bentar."

Yuni kembali ke dalam dan sejenak kemudian aku dengar deburan air di kamar mandi.
Aku duduk santai sambil menghirup kopi hangat yg dibuatkan Yuni. Di luar hujan
semakin bertambah lebat sambil sesekali terdengar bunyi guruh di kejauhan.
Suasana sudah bertambah gelap, apalagi lampu rumah belum dihidupkan.

Tiba² lampu jadi hidup terang benderang menerangi ruang tamu itu. Ternyata Yuni
yg telah selesai mandi menghidupkan lampu. Aku menatap Yuni dgn pangling.
Sekarang dia mengenakan kaos ketat berwarna biru tua dipadu dgn celana pendek yg
sewarna. Aku melihat Yuni yg lain dari yg aku kenal. Kaos ketatnya
memperlihatkan lekuk tubuhnya yg nyaris sempurna yg biasanya tersembunyi di
balik kemeja longgarnya. Kulit pahanya yg putih mulus biasanya terbungkus celana
jeans. Tanpa aku sadari dari mulutku terlontar kata,

"Kamu cakep dan seksi sekali Yun."

Yuni tampak tersipu mendengar kata²ku. Dia sedikit tersenyum, guratan kepedihan
sudah tak tampak lagi di wajahnya.

"Ngerayu apa ngerayu nih ...," Yuni mencoba menutupi ketersipuannya dgn canda.
"Bener kok Yun ... kamu cakep banget."

Yuni duduk di sofa di ujung yg lain. Kebetulan aku duduk di ujung sofa yg dekat
dgn bagian dalam rumah, sedang Yuni di ujung satunya yg dekat pintu. Kami duduk
ngobrol sambil mataku tak hentinya mengagumi kemolekan tubuh Yuni. Yuni pun
kayaknya suka aku perhatikan seperti itu. Entah sengaja atau tidak, kakinya
disilangkan sehingga pahanya yg mulus makin tampak jelas.

Kami masih ngobrol ngalor ngidul ketika kami dikagetkan dgn bunyi guntur yg
begitu keras. Seketika itu pula suasana jadi gelap gulita. Ternyata listrik mati.
Secara reflek aku berdiri. Aku beranjak ke pintu hendak menyalakan lampu motorku
yg aku parkir di teras untuk menerangi sementara. Belum selangkah aku beranjak,
aku merasakan tubrukan dgn tubuh Yuni yg ternyata juga sudah berdiri hendak
masuk ke dalam.

Tubrukan itu pelan saja sebenarnya, tapi krn terkejut Yuni jatuh tertelentang di
sofa dgn kakinya menjuntai ke lantai. Aku pun kehilangan keseimbangan dan
menindih tubuh Yuni. Untung siku kiriku masih sempat berjaga di sandaran sofa
sehingga Yuni tidak tertindih seluruh berat tubuhku.

Aku rasakan tubuh hangat Yuni menempel di tubuhku. Tanpa sadar dan semuanya
terjadi begitu tiba², aku peluk Yuni sambil kukecup keningnya dgn lembut. Yuni
tidak bereaksi menolak, dia malah melingkarkan kedua lengannya ke leherku. Aku
cium lembut pipi kiri Yuni, dia pun membalas mencium pipi kananku tak kalah
lembutnya. Dalam gelap gulita itu, secara alami dan terjadi begitu saja, bibir
kami saling bertemu.

Aku cium bibir Yuni dgn sangat lembut. Tidak ada penolakan dari Yuni, dia malah
membalas mengulum bibirku. Bibir kami saling berpautan dan melepaskan kemesraan.
Aku mulai berinisiatif menjulurkan lidahku dan membelai gigi seri Yuni. Yuni pun
membuka mulutnya lebih lebar dan menjulurkan lidahnya saling beradu dgn lidahku.
Kami terus berciuman dalam gelap. Petir yg me-nyambar² sudah tidak kami hiraukan
lagi. Lidah Yuni yg masih menjulur ke mulutku aku kulum dgn mesra. Sesaat ganti
Yuni yg mengulum lidahku.

Entah berapa lama kami saling menikmati ciuman mesra itu. Rasanya aku sangat
ingin kejadian itu berlangsung selamanya. Perlahan aku alihkan sasaran ciumanku.
Aku mulai menciumi bagian bawah dagu Yuni. Kemudian secara sangat perlahan
ciumanku mengarah ke lehernya yg jenjang itu. Aku tidak bisa melihat reaksi Yuni
karena gelap, yg aku rasakan hanya belaian lembut di rambutku. Belakang telinga
kanan Yuni aku ciumi dgn mesra sambil sesekali aku gigit lembut daun telinganya.
Yuni sedikit meronta kegelian.

Dia bereaksi dgn mendengus pelan di dekat telinga kananku. Hembusan nafasnya
membuat aku kegelian. Lalu aku rasakan benda lembut yg hangat menggelitik lubang
telingaku. Ternyata itu lidah Yuni. Sungguh geli rasanya tapi sangat
menggairahkan. Bagi yg belum pernah mengalaminya sendiri tentu susah
menggambarkannya. Kami masih saling menggelitik telinga dgn lidah.

Aku agak mengangkat tubuh sedikit ketika tangan Yuni aku rasakan mencari ruang
untuk membuka kancing kemejaku. Dalam posisi sulit dan gelap seperti itu Yuni
berhasil membuka dua kancing kemejaku yg paling atas. Dia agak merubah posisi
sehingga kepalanya tepat berada di bawah dadaku yg sudah terbuka sebagian. Dgn
lembut Yuni mulai menciumi dadaku. Tangannya sambil beraksi membuka semua
kancing kemejaku. Sekarang dadaku sudah terbuka lebar tanpa terhalang kemeja yg
masih aku pakai. Jari² lembut Yuni mulai menggerayangi punggungku. Bibirnya
masih menciumi seluruh permukaan dadaku.

Aku agak meronta kegelian ketika kedua bibir Yuni mengulum puting kiriku. Aku
belum pernah diperlakukan seperti ini oleh wanita manapun. Biasanya aku yg
melakukan ini terhadap wanita. Sensasinya sungguh sulit di gambarkan. Birahiku
mulai bangkit. Tangan kananku mulai meremas lembut payudara kiri Yuni dari luar
kaosnya. Buah dada Yuni terasa sangat kenyal dan padat.
Yuni terus menciumi, menjilati dan mengulum kedua putingku, menghantarkan
kegelian dan rangsangan ke seluruh tubuhku. Aku masih me-remas² buah dada Yuni.
Waktu terus berlalu tanpa kami sadari.

untuk membaca lebih lanjut bisa membacanya disini
klik saja

0 komentar: